Monday, May 11, 2009

KONSEP WALI DALAM ISLAM


KONSEP WALI DALAM ISLAM

I. Pendahuluan

  • Di dalam kajian tentang Islam, kata-kata wali telah digunakan secara luas, baik di kalangan para teolog maupun ilmuwan sosial. Orang yang menyandang gelar wali mendapatkan kedudukan yang penting dalam sistem kemasyarakatan Islam, baik karena kualitas spiritual mereka maupun karena peran sosial yang mereka mainkan. Namun demikian, wali tetap menjadi bahan studi yang menarik, karena para ahli Islam menggunakan pendekatan yang berbeda, yang kemudian menghasilkan pengertian yang berbeda pula. Dalam konteks ini, tampaknya perlu disadari adanya dua pendekatan yang berbeda. Pertama ialah pendekatan antropologis, yang melihat wali sebagai realitas sosial, yang bisa diamati dalam kehidupan nyata. Sebagai contoh, di Jawa dikenal Wali Sanga, yakni mereka yang telah memiliki jasa besar dalam islamisasi Jawa. Demikian juga dalam masyarakat tradisional kontemporer, beberapa orang telah dikenal sebagai wali karena sifat-sifat dan perilaku yang tampak dalam kehidupan mereka. Dalam kajian antropologis khususnya, mereka disebut wali karena masyarakat telah menyebut mereka "wali." Mereka identik dengan orang suci (the sacred men).

  • Kecuali pendekatan antropologis itu, ada pendekatan teologis yang menggunakan beberapa indikator seperti yang ditunjukkan oleh ajaran Islam. Dalam hal ini, indikator yang digunakan adalah kualitas spiritual yang tidak mungkin dideteksi secara empiris, sehingga tidak mungkin kita bisa mengetahui secara pasti apakah sesorang tertentu termasuk dalam kategori wali. Dengan kata lain, wali berada pada posisi sedemikian spiritual sehingga peluang kekeliruan dalam penilaian lahiriyah menjadi sangat besar. Makalah ini akan lebih menggunakan pendekatan teologis, dengan melihat sejauh mana para teolog Islam berdiskusi tentang makna wali, suatu kata yang sesungguhnya tercantum dalam al-Qur’an tetapi berkembang sedemikian rupa terutama di dalam tradisi pemikiran sufi.

  • Di dalam al-Qur’an kata-kata waliy (jamak: awliya’; diindonesiakan menjadi wali) muncul di beberapa tempat dan dengan demikian memiliki beberapa arti yang berbeda. Kata tersebut digunakan bukan saja dalam hubungannya dengan Allah, tetapi juga dengan beberapa hal lain, bahkan setan, jenis makhluk yang memiliki sifat-sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat Allah. Secara etimologis, wali dapat berarti penjaga, pelindung, penyumbang, teman, pengurus, dan juga digunakan dengan arti keluarga dekat.

  • Dinyatakan dalam al-Qur’an bahwa, Allah sendiri adalah wali bagi semua mukmin, yang berarti bahwa Ia menjadi pelindung mereka. Dalam Surat al-Baqarah dikatakan, "Allah adalah wali bagi orang-orang beriman. Ia membawa mereka dari kegelapan ke cahaya terang." Juga dalam surat al-Jatsiyah, Allah menyatakan dirinya sebagai wali bagi orang-orang yang bertakwa. Lebih lanjut, Allah adalah patron bukan saja di dunia ini, tetapi juga di akhirat nanti ketika tak seorang pun akan menandingi kekuasaan Tuhan. Dalam surat al-An’am, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk memberi tahu orang-orang yang meragukan ketentuan-Nya bahwa mereka tidak akan mempunyai wali atau pemberi syafa’at di sisi Allah, karena itu mereka harus menjaga diri mereka dari dosa. Bahkan dalam ayat-ayat lain, Allah menyatakan bahwa Allah sendiri adalah satu-satunya wali dalam hidup ini dan di akhirat nanti, di langit dan di bumi. Dalam surat al-Baqarah, Allah mengingatkan manusia agar mengakui kekuasaan-Nya, dengan mengatakan, "Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah berkuasa atas segala-galanya? Apakah engkau tidak mengetahui bahwa milik Allah-lah segala kerajaan langit dan bumi, dan bahwa tak seorang pun selain Allah yang menjadi wali atau penolongmu?"

  • Namun demikian, muncul beberapa kali dalam al-Qur’an bahwa bukan hanya Allah saja yang menjadi wali bagi orang-orang yang beriman. Di samping Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman lainnya adalah wali bagi orang-orang beriman. Dalam surat al-Ma’idah, misalnya, Allah menyatakan kepada orang-orang yang beriman, "Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman menjadi walinya, maka sesungguhnya pengikut Allah itulah yang pasti menang." Demikian juga, Allah menyatakan dalam surat al-Tawbah, "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi wali bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang baik, dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." Dalam ayat-ayat tadi tampak bahwa wali digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang secara harfiah bisa diartikan teman.

  • Dengan makna yang hampir sama, wali juga digunakan dalam konteks yang negatif ketika Allah melarang orang-orang beriman untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai wali. Misalnya, dalam surat Al ‘Imran, Allah berkata, "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena siasat memelihara diri dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kamu kembali." Allah juga berfirman dalam surat al-Nisa’, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?" Di tempat lain, bahkan Allah berkata kepada orang-orang munafik dalam surat al-Nisa’, "Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih; yaitu orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu?

  • Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah." Dalam konteks itu, wali tampaknya lebih tepat diartikan sebagai teman atau pemimpin.
    Begitu pula, Allah menyebut mereka yang melanggar hukum-Nya sebagai wali setan, dan demikian juga menyebut setan wali mereka. Orang-orang yang beriman tidak boleh menjadikan setan atau wali mereka (setan) sebagai teman atau pemimpin. Dalam konteks ini, wali berarti teman atau pendukung. Hal ini dijelaskan dalam surat al-Nisa’, bahwa orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang kafir berperang di jalan thaghut. Sebab itu, perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan adalah lemah. Dalam surat al-An’am dinyatakan, "Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpun mereka semuanya, (dan Allah berfirman), ‘Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia,’ lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah dapat kesenangan dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah engkau tentukan bagi kami." Allah juga memperingatkan, "Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia telah menderita kerugian yang nyata."

  • Maka, jelaslah bahwa awliya’ al-syaithan dan mereka yang menjadikan setan sebagai awliya’ mereka adalah musuh orang-orang yang beriman.
    Selain itu, wali juga digunakan dalam al-Qur’an untuk dua arti yang tidak berkaitan dengan masalah-masalah teologis. Pertama, ia digunakan dalam masalah yang muncul ketika terjadi pembunuhan; keluarga yang berduka cita bertindak sebagai ahli waris yang menentukan apa yang akan terjadi pada pembunuh, apakah ia akan dikenakan denda atau akan dimaafkan. Allah berfirman dalam surat al-Isra’, "Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya), melainkan dengan suatu alasan yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami memberi kuasa kepada walinya, tetapi janganlah kamu melampaui batas dalam membunuh (membalas). Sesungguhnya ia adalah orang yang ditolong." Kedua, ia digunakan dalam perwalian orang Islam atas al-Masjid al-Haram. Allah menyatakan dalam surat al-Anfal, bahwa "Kenapa Allah tidak mengazab mereka padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) al-Masjid al-Haram dan mereka bukanlah awliya’ (orang-orang yang berhak menguasainya)? Orang-orang yang berhak menguasainya hanyalah orang-orang yang bertakwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui."

  • Di samping itu, dalam al-Qur’an istilah awliya’ juga digunakan untuk menunjuk status atau karakter khusus dari orang-orang beriman. Istilah ini menjadi penting karena ia menjelaskan atribut tertentu dalam dua ayat yang berurutan, "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak memiliki kekhawatiran dan tidak (pula) mereka bersedih hati; yaitu, orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar." Istilah awliya’ Allah dalam ayat-ayat itu telah diberi beberapa arti yang berbeda, masing-masing dengan argumen yang panjang lebar. Meskipun beberapa ahli telah mengartikannya dengan teman-teman atau kekasih Allah, penafsiran itu sendiri masih jauh melampaui arti literalnya. Beberapa hadis telah dipakai untuk mencari makna yang tepat, namun perdebatan muncul karena sebagian ulama lebih menyukai beberapa hadis tertentu dari yang lain. Ini bahkan dijumpai dalam tradisi sufi bahwa syakh al-thariqah, pemimpin persudaraan sufi, diberi gelar awliya’, yang secara pasti diderivasikan dari ayat-ayat tersebut di atas. Karenanya, penafsiran yang bermacam-macam tentang awliya’ dan keistimewaan mereka: busyra (kabar gembira), ‘ilm (pengetahuan) dan karamah (kemulyaan, penghormatan) menjadi sangat penting untuk dibahas.


    II. Arti Wali Allah
  • Wali Allah (biasa juga ditulis Waliyyullah) seperti yang disebut dalam al-Qur’an telah diberikan makna khusus oleh berbagai ulama’. Menurut al-Jurjani (w. 816/1413) dalam bukunya Kitab al-Ta’rifat, istilah wali ditujukan kepada orang yang mengetahui Allah dan sifat-sifat-Nya (al-’arif bi’llah wa shifatih), yang berjalan dalam ketaatan yang konstan, menghindari kekerasan dan membebaskan fikirannya dari belenggu/kungkungan kesenangan materi dan nafsu seksual. Al-Jurjani hanya memberikan penafsiran secara normatif dan tidak memberikan penjelasan lebih detil tentang ciri-ciri mereka dan tidak pula membatasi kelompok manusia tertentu sebagai wali. Dia menegaskan bahwa istilah itu harus dipahami dalam artinya yang luas.

  • Beberapa ahli tafsir cenderung menyandarkan diri pada hadis dalam menafsirkan arti wali. Dalam tafsirnya, Jami’ al-Bayan, al-Thabari secara ringkas mengutip dua hadis yang berbeda yang telah dinyatakan sebagai penafsiran kata itu, tanpa menjelaskan mana dari dua itu yang lebih tepat. Pertama, dalam sebuah hadis Nabi dikatakan bahwa awliya’ adalah mereka yang begitu mengagumkan kualitasnya, sehingga siapa saja yang melihatnya pasti akan menyebut nama Allah. Dengan kata lain, awliya’ memiliki tingkat kesalehan dan kebaikan yang sangat tinggi. Penafsiran ini pula dianut oleh dua mufassir (ahli tafsir) terkenal, al-Zamakhsyari (w. 538/1143) dan Ibn Katsir (w. 774 H/1372). Kedua, dalam hadis lain dinyatakan bahwa wali adalah mereka yang memiliki derajat paling tinggi. Al-Thabari menyebutkan bahwa ketika Nabi ditanya tentang makna awliya’, ia menjawab bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang dicemburui oleh para Nabi dan syuhada’ (orang-orang yang mati dalam jihad); mereka saling mencintai tanpa memperhatikan faktor-faktor kekayaan dan keturunan, wajah mereka tampak bersinar dan bercahaya ketika berada di atas mimbar; mereka tidak khawatir ketika orang lain merasa khawatir, dan tidak sedih ketika orang lain merasa sedih. Penjelasan al-Thabari ini tampaknya dianut oleh dua mufassir kemudian, yakni al-Zamakhsyari yang bermazhab Mu’tazilah dan Ibn Katsir yang bermazhab Ahl al-Sunnah dengan menyebut dua hadis yang sama dalam kitab tafsir mereka.

  • Beberapa penafsir lain menggunakan hadis yang berbeda untuk menjelaskan arti awliya’. Seorang ‘alim besar dari Mazhab Syi’ah, al-Thusi (w. 460/1068), berpendapat bahwa awliya’ adalah mereka yang berhak mendapatkan pahala, penghargaan dan kemuliaan dari Allah. Lebih jauh, dia mengutip, dalam kitabnya al-Tibyan, sebuah hadis yang dinisbatkan kepada al-Husayn ibn ‘Ali, yang mengatakan bahwa awliya’ adalah mereka yang mengikuti perintah-perintah Allah dan sunnah Rasul-Nya, menjauhi larangan-laragangan, meninggalkan kesenangan dunia, berjuang di jalan Allah, berjuang untuk kehidupan yang terbaik, tidak mencari nama dan mengejar kemewahan yang berlebih, dan mereka membayar apa yang menjadi kewajiban mereka. Hadis ini juga digunakan oleh al-Thabathaba’i, seorang mufassir Syi’i kontemporer dalam tafsirnya al-Mizan. Lebih dari itu, ia menambahkan beberapa hadis lain, yang salah satunya, barangkali paling penting, dinisbatkan kepada ‘Ali ibn Abi Thalib, diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas: "Ketika ‘Ali ditanya tentang arti awliya’, ia menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat tulus dalam menyembah Allah, melihat segi batin (esoteric) dari segala sesuatu, sementara orang lain melihat segi lahirnya (exoteric); mereka memiliki kesabaran untuk menunggu, tidak pernah tertipu oleh kesementaraan; mereka meninggalkan apa yang tidak akan abadi dan menghancurkan apa yang akan menghancurkan mereka. Dari apa yang mereka sebutkan, kita perlu memberikan tekanan secara khusus terhadap ciri pemikiran Syi’ah mereka, yaitu pentingnya hal-hal yang bersifat batin dan penantian terhadap kedatangan imam al-mahdiy.

  • Di samping itu, dua penafsiran lain yang berbeda diberikan oleh al-Qurthubi (w. 671/1272) dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an dan al-Alusi (w.1251/1835) dalam Ruh al-Ma’ani. Penafsiran al-Qurthubi didasarkan pada pendapat ‘Ali ibn Abi Thalib yang mengatakan bahwa awliya’ adalah mereka yang wajahnya pucat karena mereka kurang tidur, mata mereka sayu karena banyak menangis, perut mereka kosong karena kurang makan, bibir mereka kering karena banyak berzikir. Selain itu, penafsiran al-Alusi didasarkan pada hadis qudsi, di mana Allah berkata, "Di antara hamba-hambaku adalah dia yang selalu dekat Aku dengan mengerjakan nawafil (ibadah sunnah), hingga Aku mencintainya. Sekali Aku mencintainya, Aku menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, matanya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk meraba dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan." Dengan kata lain, hadis ini menyatakan bahwa karena cinta-Nya yang dalam Allah selalu membimbing pikiran dan tindakannya agar terhindar dari maksiat dan kejahatan.

  • Penulis Islam yang lain membawa istilah awliya’ kepada arti yang lebih luas dari pada sekedar membatasinya dengan memberikan karakteristik tertentu. Dalam menafsirkan kata itu, mereka tidak menggunakan hadis-hadis, tetapi lebih membukanya untuk dipahami sebagai orang Islam yang saleh. Di antara mereka adalah Ibn Taymiyyah (w.728/1328) yang berpendapat dalam kitabnya al-Furqan bayna Awliya’ al-Rahman wa Awliya’ al-Syaythan bahwa wali adalah orang yang selalu mengikuti ajaran Allah; dengan demikian, jika melanggar hukum-Nya, dia tidak disebut sebagai wali Allah tetapi wali setan. Dalam pengertian ini, Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa para nabi adalah awliya’ yang paling baik, karena dalam kehidupan mereka terdapat teladan paling utama dalam mematuhi ajaran Allah. Dengan penjelasan ini, tampaknya Ibn Taymiyyah tidak menggunakan hadis yang mengatakan bahwa para nabi dan syuhada’ sungguh cemburu terhadap kedudukan yang dinikmati oleh awliya’.

    III. Keistimewaan Awliya’: al-Busyra

  • Diyakini bahwa sekalipun ditafsirkan berbeda-beda, awliya’ akan mendapatkan keistimewaan yang salah satu bentuknya ialah al-busyra (kabar kegembiraan). Dalam surat Yunus, ayat 64, awliya’ dianugerahi oleh Allah al-busyra di dunia dan di akhirat. Al-Thabari mengatakan bahwa al-busyra adalah impian, baik yang dilihat oleh seorang muslim di dunia maupun di surga, yang diberikan di akhirat. Berdasarkan suatu hadis, al-Thabari juga mengatakan bahwa itu akan merupakan kabar gembira bagi seorang muslim menjelang ajal. Tampaknya, al-Thabathaba’i sependapat dengan panfsiran busyra itu, dan hanya beberbeda pendapat dalam hal saat kapan ia akan diberikan di akhirat. Dia berpendapat bahwa hal itu akan diberikan saat kebangkitan dari kubur. Di samping itu, ia memberikan penafsiran lebih jauh yang didasarkan pada hadis Nabi bahwa busyra adalah bagian dari kenabian yang tidak berhenti pada Nabi Muhammad saja, tetapi akan terus berlanjut pada masa-masa sesudahnya. Penafsiran seperti ini juga diberikan oleh al-Qurthubi dan Ibn Katsir. Tetapi Muhammad ‘Abduh dalam al-Manar, mencoba memberikan penafsiran yang lain. Dia mengatakan bahwa busyra adalah kabar gembira bahwa awliya’ akan menang dan berkuasa di dunia, sepanjang mereka melaksanakan syariat Allah, sunnah Rasul dan berjuang di jalan Islam. Dalam caranya menafsirkan, ‘Abduh tampaknya menggunakan penalaran ketimbang hadis, seperti biasanya ditunjukkan oleh mufassir tradisional. Ini dapat dipahami karena dia mengatakan bahwa sebagian besar hadis yang berkaitan dengan arti awliya’ adalah lemah (dla’if).

    IV. Keistimewaan Awliya’ : ‘Ilm dan Karamah

  • Di samping busyra yang secara jelas disebutkan dalam al-Qur’an, ada dua privelej lain, yang menurut keyakinan beberapa teolog, diberikan oleh Allah kepada awliya’, yakni ‘ilm (pengetahuan) dan karamah (kemulyaan, penghargaan). Menurut Ibn ‘Arabi (w. 638/1240), awliya’ diberi kedudukan tertinggi dalam sistem ‘ilm (pengetahuan). Ada tiga tipe pengetahuan yang disusun menurut cara bagaimana memperolehnya dan sejauhmana pengetahuan itu bisa dipercaya. Yang paling rendah, kata Ibn ‘Arabi, ialah ‘ilm al-’aql, yang diperoleh dengan menggunakan akal pikiran, dan karena itu bisa benar atau salah. Selanjutnya adalah ‘ilm ahwal, pengetahuan faktual, yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan perasaan atau pengalaman. Misalnya, manisnya madu, beratnya kesabaran, nikmatnya cinta dan rindu hanya bisa diperoleh melalui pengalaman. Dua macam pengetahuan ini bisa didapat oleh orang awam. Sedangkan yang paling tinggi ialah ‘ilm al-asrar, pengetahuan rahasia, yang hanya bisa diperoleh para nabi dan awliya’, karena hal tersebut diluar jangkauan akal pikiran, dan diwahyukan oleh ruh suci (al-quds) atau malaikat. Tipe pengetahuan ini, kata Ibn ‘Arabi, dapat menyerupai tipe pertama, tetapi yang unik adalah bahwa ilm al-asrar tidak didapatkan lewat akal tetapi lewat wahyu, sebagaimana juga bisa menyerupai yang kedua tetapi ia lebih tinggi. Lebih jauh, ‘ulum al-asrar pasti benar karena diturunkan dari Tuhan, seperti halnya wahyu para nabi. Wahyu para nabi adalah nubuwwat al-tasyri’, kenabian syari’at, tetapi wahyu awliya’ adalah al-nubuwwat al-’ammah, kenabian umum, yang tidak berhenti pada nabi terakhir Muhammad.

  • Teori Ibn ‘Arabi disangkal oleh para teolog, di antaranya ialah Ibn Taymiyyah. Untuk mengkualifikasikan lebih jauh awliya’ sebagai orang yang dianugerahi pengetahuan rahasia dan yang mampu berbicara dengan Tuhan, kata Ibn Taymiyyah, merupakan suatu penafsiran bid’ah. Arti itu tidak ada dalam hadis. Kata Ibn Taymiyyah, ini tidak berarti mengingkari bahwa kadangkala cinta manusia yang sangat mendalam kepada Tuhannya di satu pihak dan kecintaan serta kasih sayang Tuhan di pihak lain akan mengantarkan, dan bahkan mungkin secara nyata mendatangkan suatu bentuk komunikasi dan hubungan. Tetapi manusia seperti itu dalam istilah teknis, menurut syari’ah, adalah muhaddats (yang diajak bicara) bukan wali. Lebih jauh, anugerah kemampuan berbicara dengan Tuhan tidak dengan sendirinya memberikan kepada muhaddats kelebihan atas orang lain, apalagi nabi. Demikian juga, orang yang mengaku mendapatkan pengetahuan yang diturunkan melalui komunikasi seperti itu tidak serta-merta dapat dipastikan kebenarannya. Seorang wali adalah seperti semua manusia yang lain. Memberinya tempat yang lebih tinggi dari nabi adalah bertentangan dengan struktur hirarki berdasrkan kesalehan dalam Islam. Dalam hirarki atas dasar kesalehan, manusia biasa berada di bawah nabi, tidak di atasnya.

  • Tantangan lain terhadap teori Ibn ‘Arabi tentang pengetahuan yang berada di luar jangkauan rasio yang diturunkan melalui intuisi, datang dari Muhammad ‘Abduh. Dia berpendapat bahwa bentuk pengetahuan ini tidak selamanya bisa dipercaya karena tidak mungkin mengidentifikasi pengetahuan semacam itu, apakah datang dari Tuhan atau setan; tidak ada kriteria yang inheren dalam pengetahuan itu sendiri. Satu-satunya ukuran yang mutlak ialah al-Qur’an dan Sunnah, dan karena itu ‘ilm al-asrar, dalam pengertian Ibn ‘Arabi, atau al-waridat, dalam pengertian ‘Abduh, tidak selalu benar. Kesimpulannya, ‘Abduh menolak teori yang menyatakan bahwa awliya’ yang menyatakan diri menerima ‘im al-asrar dapat dipercaya.

  • Keistimewaan lain yang disebutkan diberikan kepada awliya’ ialah karamah (secara harfiah berarti kemulyaan, kehormatan). Awliya’ dinyatakan sebagai memiliki karamah yang bentuknya adalah kemampuan luar biasa yang tidak dimiliki oleh manusia kebanyakan, seperti kemampuan untuk berjalan di atas air, berbicara dengan hewan dan terbang di udara. Dinyatakan bahwa, siapa saja yang dapat melakukan keajaiban demikian, tidak soal bagaimanapun relijiusitasnya, dapat diidentifikasi sebagai seorang wali. Dalam budaya Indonesia, karamah ini diterjemahkan menjadi keramat. Sekali lagi, Ibn Taymiyyah dengan tegas menyerang teori ini, karena keajaiban yang demikian tidak hanya dimiliki oleh awliya’ Allah tetapi juga bahkan oleh orang-orang yang tidak beriman, yaitu awliya’ al-Syaithan (para wali setan). Maka, satu-satunya indikator untuk menentukan apakah yang berbuat aneh itu wali Allah atau wali setan adalah tingkat komitmen mereka kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Sanggahan terhadap konsep karamat al-awliya’ juga datang dari Muhammad ‘Abduh. Ia menguraikan teori khariq al-’adah (sesuatu yang luar biasa), di mana karamah adalah bagian darinya. Menurut ‘Abduh, ada empat macam khariq al-’adah, yaitu mu’jizah, karamah, ma’unah dan istidraj. Yang pertama, mu’jizah (secara harfiah berarti yang melemahkan) adalah kemampuan luar biasa yang hanya diberikan kepada para rasul. Yang kedua, karamah adalah kemampuan luar biasa yang diberikan kepada orang beriman yang saleh yang mengikuti teladan para rasul. Ma’unah (secara harfiah berarti pertolongan) adalah kemampuan luar biasa yang diberikan kepada orang yang agak saleh. Sedangkan istidraj (secara harfiah berarti perayuan) adalah kemampuan luar biasa yang diberikan kepada orang yang tidak beriman atau orang beriman yang banyak berbuat dosa. Berdasarkan klasifikasi ini, ‘Abduh berpendapat bahwa suatu keanehan atau kemampuan luar biasa tidak selalu menunjukkan kewalian, karena hal itu mungkin terjadi di tangan orang-orang yang tidak beriman.

    V. Tingkatan Awliya’

  • Di luar penafsiran yang berorientasi kepada al-Qur’an dan Sunnah, teori tentang hirarki awliya’ telah berkembangan di dalam tradisi sufi. Tampaknya, ada kesamaan pola hirarki awliya’ di dalam karya beberapa penulis. Dikatakan bahwa, di bumi ini selalu ada awliya’, tetapi mereka tidak selalu tampak, dan mereka tidak selalu dapat dilihat. Hanya, perlu dipahami bahwa hirarki itu selalu ada pada setiap jaman, dan jika salah seorang wali yang menempati salah satu posisi dalam hirarki itu meninggal, maka ia digantikan oleh wali yang lain supaya jumlah mereka selalu genap 400 wali. Mereka hidup tersembunyi di dunia dan mereka sendiri tidak sadar akan kewalian mereka. Tetapi ada teori yang menyatakan bahwa mereka sesungguhnya saling mengetahui dan bahkan bekerja bersama-sama. Jika diurut dari yang kurang utama ke paling utama, maka mereka adalah akhyar yang jumlahnya mencapai 300 wali, abdal sebanyak 40 wali, abrar 7 wali, awtad 4 orang wali, nuqaba’ 3 orang wali, dan di ujung yang tertinggi ada quthb yang jumlahnya hanya satu dan dia disebut juga al-ghawts.

  • Versi lain dari teori ini muncul dalam kitab Jami’ al-Ushul fi al-Awliya’. Hirarki awliya’ terdiri dari enam tingkat, yang tertinggi adalah al-Quthb al-Ghawts. Selanjutnya, awtad sebanyak empat yang ditempatkan di empat arah, yakni utara, selatan, barat dan timur; kemudian abdal sebanyak tujuh, nujaba’ 40, dan yang paling rendah adalah nuqaba’, yang jumlahnya mencapai 300 wali. Di samping itu, D’Ohsson memberikan model hirarki lain yang berkembang dalam tradisi Turki, yang di situ ada tujuh tingkat yang terdiri dari 356 awliya’. Yang pertama, tertinggi, ialah al-ghawts al-a’dham (pengungsian besar); kedua ialah quthb (penjaga kutub); ketiga ialah awtad (tiang-tiang). Sisanya diketahui dari jumlah mereka: ucler berjumlah 3 orang, yediler 7 orang, kerikler 40 orang, dan ucyediler 300 orang.

  • Betapapun teori hirarki awliya’ itu telah berkembang dalam tradisi sufi, Ibn Taymiyyah berpendapat bahwa klasifikasi di atas hanya didasarkan pada sunnah Nabi atau sahabatnya yang tidak sahih, dan dengan demikian ini merupakan bid’ah yang tidak bisa ditoleransi. Sebaliknya, Ibn Taymiyyah membuat klasifikasi yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an dalam surat al-Waqi’ah, yang menyatakan bahwa ada dua tingkatan awliya’, yakni al-muqarrabun (orang-orang yang didekatkan) dan al-abrar (orang-orang yang baik). Yang paling tinggi, al-muqarrabun, adalah mereka yang selalu melaksanakan kewajiban, ditambah amal-amal yang dianjurkan. Ketika membicarakan orang-orang ini, Allah berfirman, "Aku menyayangi mereka, Aku menjadi telinga mereka untuk mendengar, menjadi mata mereka untuk melihat, menjadi tangan mereka untuk meraba dan menjadi kaki mereka untuk berjalan." Penjelasan lebih lanjut tentang mereka itu diberikan dalam surat al-Waqi’ah, "Mereka itulah orang yang didekatkan kepada Allah, berada dalam surga kenikmatan.

  • Segolongan besar dari orang-orang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertatahkan emas dan permata, serta bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas, cerek dan sloki berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk, dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Dan di dalam surga itu, ada bidadari-bidadari yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik, sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan." Awliya’ yang lebih rendah ialah al-abrar, atau disebut juga dengan ashhab al-yamin. Mereka mengikuti semua perintah dan menjauhi semua larangan, tetapi kurang memperhatikan apa yang dianjurkan. Penjelasan selanjutnya tentang awliya’ ini dapat dijumpai juga dalam surat al-Waqi’ah, "Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di antara pohon bidara yang tidak berduri, dan pohon pisang yang buahnya bersusun-susun, dan naungan yang terbentang luas, dan air yang tercurah, dan buah-buahan yang banyak, yang tidak terputus buahnya dan tidak terlarang mengambilnya, dan kasur-kasur yang tebal lagi empuk. Sesungguhnya kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya, Kami ciptakan mereka untuk golongan kanan, yaitu segolongan besar dari orang-orang terdahulu, dan segolongan besar pula dari orang yang kemudian.

  • Bentuk klasifikasi yang lain diberikan oleh al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma’ani. Menurutnya, awliya’ dibagi ke dalam dua kelompok: wali-wali kecil (al-awliya’ al-shughra) dan wali-wali besar (al-awliya’ al-kubra). Yang pertama adalah mereka yang jarang berbuat dosa, dan ketika mereka berbuat dosa, mereka akan menyesal. Yang kedua adalah mereka yang secara praktis tidak pernah berbuat dosa sama sekali, meskipun secara teoritis mereka tidak ma’shum (terpelihara dari dosa). Tampak bahwa, teori al-Alusi yang menyatakan bahwa awliya’ itu tidak ma’shum sesuai dengan teori Ibn Taymiyyah lima abad lebih awal. Bedanya ialah, bahwa menurut Ibn Taymiyyah awliya’ itu tidak ma’shum, baik secara teoritis maupun praktis. Tetapi, Ibn Taymiyyah dan al-Alusi sependapat bahwa awliya’ yang paling tinggi adalah para nabi.

    VI. Kesimpulan

  • Secara singkat, al-Qur’an menegaskan bahwa awliya’ Allah adalah mereka yang memiliki keyakinan teguh dan menjauhi kejahatan; mereka tidak khawatir atau takut; mereka diberi busyra di dunia dan di akhirat. Para ulama’ sependapat, bahwa awliya’ dekat dengan Allah, dan memperoleh kedudukan yang tinggi di kalangan orang-orang yang beriman. Mereka juga sependapat, bahwa kedudukan ini disebabkan oleh kesalehan mereka dan tidak oleh keajaiban mereka. Penafsiran ini diambil dari al-Qur’an dan hadis sebagaimana digunakan oleh para mufassir klasik maupun modern. Penafsiran klasik diwakili dengan baik oleh al-Thabari yang terkenal karena bersandar kepada hadis dalam tafsirnya. Penafsiran modern diwakili dengan baik oleh Muhammad ‘Abduh yang kritis dan mengingkari kesahehan hadis-hadis tentang wali, dan karena itu dia lebih cenderung bersandar pada ayat-ayat al-Qur’an dan menggunakan penalaran bebas.

  • Satu-satunya keistimewaan awliya’ yang secara eksplisit dinyatakan dalam al-Qur’an ialah busyra. Tetapi dalam perkembangan intelektualisme Islam, ada suatu tahap di mana awliya’ dianggap mempunyai keistimewaan lain di dunia ini: pengetahuan rahasia dan kekeramatan. Dua keistimewaan ini telah menjadi pokok perbedaan pendapat di kalangan ulama’. Tampak bahwa reliabilitas pengetahuan yang didapatkan oleh awliya’ melalui intuisi dan karamah sebagai indikasi kewalian, dengan baik dikembangkan hanya dalam tradisi tasawuf. Memang, kedua keistimewaan itu tidak muncul dalam al-Qur’an dan Sunnah. Karena itulah, kenapa beberapa ulama’, seperti Ibn Taymiyyah dan Muhammad ‘Abduh, cenderung menolak reliabilitas pengetahuan demikian itu dan validitas keajaiban sebagai tanda kewalian.

  • Seperti hal tersebut di atas, usaha untuk menyusun awliya’ dalam suatu hirarki juga menjadi titik perdebatan. Usaha menyusun hirarki itu telah dimulai dalam tradisi tasawuf dan didasarkan tidak pada ayat-ayat al-Qur’an atau hadis Nabi. Namun, peringkat yang disusun di luar tradisi tasawuf tampaknya hanya merupakan reaksi kepada peringkat yang dibuat oleh kaum sufi. Usaha ini hanya didasarkan pada arti literal ayat-ayat al-Qur’an sebagai dasar bagi teologi Islam.

Penulis: Oleh: Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, MA.Penulis adalah dosen pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya